PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebelum
majunya teknologi dan berkembangnya inovasi, seorang peternak sapi harus
mendatangkan sapi jantan untuk membuat sapi-sapi betinanya bunting. Bahkan
untuk memperoleh anakan sapi yang unggul, peternak sapi harus mendatangkan sapi
jantan yang memiliki kualitas unggul.Hal ini dikarenakan sapi betina baru bisa
bunting manakala sel telur milik sapi betina
bertemu dengan spermatozoa (sel sperma) milik sapi jantang di dalamestrus sapi
betina. Namun terkadang tidak diperoleh hasil yang memuaskan.
Dibeberapa
kondisi upaya tersebut tidak membuahkan hasil karena ternyatasalah satu dari sapi
dalam kondisi steri, sehingga tidak terjadi ovulasi.Selain itu, kondisi sapi
betina dan sapi jantan harus dalam masa birahi.Yakni masa di mana kedua sapi siap untuk kawin. Bilamana hanya satu sapiyang dalam kondisi birahi, maka kegiatan
fertilisasi pun tidak dapatdilaksanakan.Pada era modern ini banyak cara
yang dapat dilakukan untuk membuatseekor sapi betina menjadi bunting tanpa
perlu mendatangkan pejantan. Salahsatunya adalah dengan Inseminasi Buatan.
Inseminasi Buatan (IB) atau kawinsuntik
adalah suatu cara atau teknik untuk memasukkan mani (sperma atausemen) yang
telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu yang berasaldari
ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakanmetode dan alat khusus yang disebut ”insemination
gun” Dengan inseminasi buatan
memungkinkan manusia mengawinkan ternak betina yang dimilikinyatanpa perlu
seekor pejantan utuh. Inseminasi buatan
dilakukan oleh kebanyakan peternak sapi denganharapan memperoleh sapi
anakan yang memiliki kualitas unggul.
Namun
tidak selamanya kegiatan Inseminasi buatan mampu memberikan keturunan
unggul pada sapi. Bahkan dalam beberapa
kasus, dikenal istilah sapi tidak buntingmeskipun sudah dilaksanakan
inseminasi buatan. Hal ini menandakan bahwakegiatan inseminasi buatan yang
telah dilaksanakan tidak berhasil atau gagal.Terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan peternak dalam melakukan
inseminasi buatan. Yang utama adalah inseminasi buatansangat ditentukan
oleh kemampuan dari peternak dalam hal deteksi estrus sapi betina, sebab dengan deteksi estrus yang
tepat dapat membantu operator inseminassi
buatan dalam menentukan waktu yang tepat dalam melakukaninseminasi buatan.
Selain
itu, operator inseminasi buatan juga harus berpengalaman dalam
penanganan semen dan juga penempatan semen kedalam saluran reproduksi sapi
betina. Faktor-faktor lain yang juga turutmempengaruhi keberhasilan
inseminasi buatan adalah seperti kondisi semensapi jantan yang harus dalam
keadaan “sehat” dan tingkat fertilitas maupunkondisi sapi betina itu sendiri.
Sehingga dapat ditentukan pula sapi betinamana yang sehat dan cocok untuk inseminasi
buatan
PEMBAHASAN
Saat ini masalah utama pengembangan ternak
sapi di Indonesia adalah terbatasnya jumlah bibit baik dari segi kualitas
maupun kuantitas. Problem tersebut menjadikan kebutuhan daging sapi Indonesia
tidak tercukupi dan akhirnya harus mengimpor daging dari Australia. Padahal
jika mengoptimalkan penerapan teknologi peningkatan mutu genetik sapi,
Indonesia mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.
Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi
LIPI, Baharuddin Tappa, telah mengembangkan tiga model untuk meningkatkan mutu
genetik sapi, yakni Inseminasi Buatan (IB), Transfer Embrio (TE) dan Sexing
Sperma (Pemisahan sperma). Baharuddin mengatakan model inseminasi buatan
merupakan upaya meningkatkan mutu sapi dengan memanfaatkan potensi sapi
pejantan unggul.
"Ini sama dengan kawin suntik.
Kemampuan kawin sapi jantan terbatas, untuk itu sperma disuntikkan ke sapi
betina," ujar Baharudin saat dihubungi VIVAnews, 18 April 2012. Dengan
model ini, sapi jantan yang biasanya hanya mampu mengawini 50 sampai 70 sapi
betina per tahun, kini dapat mencapai 5 ribu sampai 10 ribu perkawinan per
tahun. "Namun saat ini banyak sapi pejantan unggul yang dijual untuk
dipotong, hampir tidak ada di peternak saat ini," kata lulusan Nippon
Veterinary and Animal Science University, Tokyo, Jepang ini.
Model kedua yakni Transfer Embrio. Metode
ini memanfaatkan sapi pejantan dan sapi betina dengan melakukan pembuatan di
dalam rahim atau di luar rahim (bayi tabung). "Kalau di luar rahim, embrio
dititipkan ke betina lain, istilahnya induk titipan," katanya. Sedangkan
metode yang ketiga yakni Sexing Sperma atau pemisahan sperma X dan Y. Metode
peningkatan populasi dengan menentukan jenis kelamin sapi yang akan dilahirkan.
"Jadi mau pilih jantan atau betina tinggal disesuaikan, harusnya yang
diperbanyak yang betina," ujarnya.
Adapun saat ini komposisi populasi sapi
masing imbang, setengah betina dan setangah jantan. "Tapi jika untuk
masyarakat pembibitan ya betina, tapi jika untuk masyarakat yang ingin
penggemukan dibuat lahir yang jantan," tuturnya.
Metode penentuan jenis kelamin ini menurutnya sangat signifikan, yakni dari penentuan 80 sampai 90 persen sesuai dengan keinginan. Pengembangan mutu genetik sapi ini sudah dikembangkan sejak tahun 1999, dengan penerapan sejak 5 tahun terkahir, mengingat harus diawali dengan penelitian terlebih dahulu. LIPI sudah menerapkan upayameningkatkan mutu genetika dan jumlah populasi ini di beberapa tempat. Salah satunya di Jawa Barat yakni Garut, Tasikmalaya dan Lembang. Ia berharap agar pemerintah mulai serius untuk meningkatkan populasi sapi di Indonesia dengan membeli sapi unggulan baik betina ataupun jantan untuk diterapkan dengan teknologi tersebut. Ini disebabkan banyak sapi unggulan yang percuma hanya dijual dan dipotong. "Sapi jantan unggulan banyak yang dipotong, sedangkan betina yang produktif berkurang juga, ya itulah bagaimana sekarang pemerintah kebijakannya, beli sapi-sapi itu," katanya
Metode penentuan jenis kelamin ini menurutnya sangat signifikan, yakni dari penentuan 80 sampai 90 persen sesuai dengan keinginan. Pengembangan mutu genetik sapi ini sudah dikembangkan sejak tahun 1999, dengan penerapan sejak 5 tahun terkahir, mengingat harus diawali dengan penelitian terlebih dahulu. LIPI sudah menerapkan upayameningkatkan mutu genetika dan jumlah populasi ini di beberapa tempat. Salah satunya di Jawa Barat yakni Garut, Tasikmalaya dan Lembang. Ia berharap agar pemerintah mulai serius untuk meningkatkan populasi sapi di Indonesia dengan membeli sapi unggulan baik betina ataupun jantan untuk diterapkan dengan teknologi tersebut. Ini disebabkan banyak sapi unggulan yang percuma hanya dijual dan dipotong. "Sapi jantan unggulan banyak yang dipotong, sedangkan betina yang produktif berkurang juga, ya itulah bagaimana sekarang pemerintah kebijakannya, beli sapi-sapi itu," katanya
Penurunan sapi potong selama periode tahun 2002 –
2006 sebanyak - 2,63 % per tahun , hal ini diduga
penyebabnya adalah: (1). Tidak seimbang antara produksi dan
permintaaan daging, (2). Tingginya angka pemotongan ternak betina
produktif dan kesadaran masyarakat/peternak akan meminimalkan
pemotongan betina produktif masih rendah, (3) Rendahnya angka kelahiran
dan panen pedet, (4). Tingkat pengeluaran ternak sapi dan kerbau
untuk tujuan perdagangan antar pulau tidak terkontrol, terutama yang dilakukan
pedagang antar pulau illegal, (5). Hilangnya daerah penyangga populasi yang
masuk dalam wilayah Sulawesi Barat, dan (6) Tidak adanya pembibitan
terprogram
Faktor penyebab penurunan diatas telah dibuktikan dengan kajian
data tingkat pemotongan tingkat pengeluaran sapi, tingkat
pemasukkan dan tingkat kelahiran pada tahun 2005. Berdasarkan
laporan, total populasi ternak sapi potong pada tahun 2005 adalah 594.316 ekor,
jumlah betina dewasa sebanyak 237.726 ekor (diperkirakan 40%) dan 30 % akseptor
kawin alam ~ 178.295 ekor dan tingkat kelahiran alami diperkirakan 20 %.
Atas dasar itu telah diperoleh persentase pertambahan populasi (
pemasukan sapi, kelahiran baik hasil IB maupun kawin alam) mencapai 7, 42 % ,
sedangkan persentase pengurangan populasi ( pemotongan, pengeluaran
ternak dan kematian) mencapai 13,29% sehingga laju penurunan
populasi per tahun adalah – 4,59 %. Namun demikian,
menurut Laporan Statistik Peternakan 2008, pada tahun 2006 jumlah populasi sapi
sebanyak 637.128 ekor dengan persentase pertambahan populasi
mencapai 26,32 % , sedangkan persentase pengurangan populasi
mencapai 17% % sehingga terjadi laju kenaikkan populasi per
tahun adalah 9,32 %. dan jumlah populasi tahun
2007 sebanyak 668.622 ekor. Perbedaan utama data diatas
disebabkan karena adanya perbedaan tingkat kelahiran, pada tahun
2005 tingkat kelahiran hanya dicapai 20% dari populasi betina , sedangkan
pada tahun 2006 diperoleh 26,04 %. dari total populasi.
Berdasarkan data diatas, untuk mendapatkan tambahan
kelahiran (populasi sapi dewasa) sebanyak 38.106 ekor
Provinsi Sulawesi Selatan c/q Dinas Peternakan harus
menyediakan betina akseptor tambahan sebanyak 54.438
ekor dan pejantan sebanyak 248 ekor
untuk tujuan kawin alam. Permasalahan ternak ini sangat
sulit di lapangan, misalnya untuk penyediaan pejantan,
pada setiap hari raya qurban Iedul Adha, ratusan sampai
ribuan ekor jantan dipotong setiap tahunnya, termasuk calon pejantan dan
pejantan berkualitas.
Tetapi pemerintah daerah tidak memanfaatkanya
untuk menseleksi dan membeli pejantan dimana pada periode
tersebut merupakan upaya yang tepat untuk menseleksi pejantan yang ada
dilapangan. Jumlah betina akseptor sebaiknya berasal dari
luar provinsi Sulawesi Selatan atau sapi betina impor (sapi bunting),
jika sapi betina akseptor disediakan berasal dari dalam provinsi
maka tidak ada penambahan populasi.
Pertanyaannya sekarang adalah
mampukah pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan , cq
Dinas Peternakan, menyediakan betina akseptor dan
pejantan sebanyak itu ? Apakah ada strategi
lain untuk mencapai target sejuta ekor pada tahun 2013
? Berapa persen laju peningkatan populasi sapi per
tahun, dengan kondisi populasi sapi sekarang, yang harus dicapai
untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Masih banyak
pertanyaan yang perlu dicari solusinya dan
dijabarkan dalam bentuk program aksi di masyarakat.
Selain trend penurunan populasi sapi di Sulawesi Selatan, penurunan
kualitas genetik dan reproduksi juga terjadi. Parameter reproduksi
seperti calf crop (tingkat kelahiran) turun dari 16 bulan menjadi 20
bulan, berat lahir turun dari rata-rata 15,9 kg turun menjadi 11,5 kg dan umur
melahirkan pertama semakin melambat dari 28,57 bulan menjadi 41,8 bulan.
Hasil survei di sentra pengembangan sapi Bali murni kabupaten Barru dan di
daeran bukan pengembangan sapi Bali, kabupaten Maros dan Gowa, menunjukkan
bahwa adanya penurunan kondisi eksterior dan memperoleh sapi jantan
dengan berat 275 – 300 kg sudah sangat susah (Sonjaya dkk 2007).
Berdasarkan PERMENTAN No: 54/Permentan/OT.140/2006. Ukuran tubuh sapi
Bali jantan berumur 24 – 36 bulan, tinggi gumba kelas I
adalah minimal 119 cm dengan panjang badan minimal 121 cm, sedangkan
untuk betina berumur 18 – 24 bulan, tinggi gumbanya minimal 105 cm
dengan panjang badan minimal 104 cm. Ukuran tubuh sapi Bali
sekarang di Sulawesi Selatan umumnya berada kelas II bahkan sampai
kelas III, tinggi pundak sapi Bali jantan hanya berkisar 111,33 – 112,22
cm. Hal ini menunjukkan bahwa bukan saja jumlah ternak sapi
potong yang perlu ditingkatkan, akan tetapi juga perlu sinergi dengan
peningkatan mutu bibit sapi sehingga sapi selain bisa dijual, juga daya
saing kualitasnya tinggi.
Seleksi Bibit
Memilih sapi untuk calon bibit/bibit:
- Pejantan: Seleksi menyangkut kesehatan fisik, kualitas semen dan kapasitas servis.
- Betina : Seleksi menyangkut kondisi fisik dan kesehatan, kemiringan vulva tidak terlalu keatas, mempunyai puting 4 buah, bentuk ambing relatif besar dengan bentuk yang simetris.
- Pilihlah sapi dara yang penampilannya mencerminkan sapi yang sehat, matanya jernih, selaputnya tidak kotor atau merah, bulu badannya halus serta mengkilat.
- Kondisi tubuhnya padat berisi, tapi tidak gemuk
- Bagian leher dan bahunya lebar
- Bagian dada lebar, dalam dan menonjol ke depan
Ukuran
minimum vital statistik bibit sapi Bali
Ukuran menurut jenis
kelamin
|
Muda
|
Dewasa
|
Jantan
|
||
Panjang badan
|
127 cm
|
134 cm
|
Tinggi gumba
|
112 cm
|
126 cm
|
Lingkar dada
|
185 cm
|
193
|
Umur
|
2-3,5 tahun
|
maks 8 tahun
|
Betina
|
||
Panjang badan
|
116 cm
|
120 cm
|
Tinggi gumba
|
105 cm
|
115 cm
|
Lingkar dada
|
162 cm
|
115 cm
|
Umur
|
2,35 tahun
|
maks 8 tahun
|
Langkah-langkah Memilih Pejantan
v Ciri-ciri pejantan sesuai dengan bangsa yang diinginkan, misalnya
sapi Bali; Sapi Bali jantan berwarna hitam kemerahan dengan warna putih pada bagian
pantat sampai perut dan lutut sampai ke
tumit. Kerangka badan besar dengan dada lebar
dan dalam yang membentuk kerucut kearah perut
belakang.
v Bila diketahui catatan produksi dan asal usul/keturunan
(recording), pilih ternak yang memiliki pertumbuhan di atas rata-rata. Sebagai
patokan pada umur 2 tahun (dilihat dari giginya yaitu memiliki
sepasang gigi tetap) berat berkisar 250 Kg
atau lingkar dada sekitar 157 cm.
Menajemen Terpadu Pemeliharaan Sapi
Bali
v Rangka badan besar dan panjang
dengan tulang besar, dada lebar dan dalam dan mengerucut kearah perut belakang.
v Buah zakar lonjong dan besar dan
simetris, seimbang antara kiri dan kanan
v Libido sex tinggi, dapat mengawini 3 betina sehari
v Memiliki temperamen yang tenang
v Nafsu makan tinggi Pejantan unggul yang siap mengikuti kontes
ternak
Sumber :
Anonim, 2012 . Beternak Sapi Potong.http://jogjavet.wordpress.com/2007/12/21/beternak-sapi-potong/.
Bandini, Y. 1997. Sapi Bali. Penebar Swadaya,
PT. Jakarta.
Dr. Ir Mashur M,S, 2003 Menajemen terpadu
pemeliharaan sapi bali,Departemen pertanian badan penelitian dan penembangan
pertanian balai pengkajian teknologi pertanian, Agronomi inovasi
Sonjaya H, 2007. Mengkaji
Program Sejuta ekor sapi di Provinsi Sulawesi Selatan. Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin,Makassar. Diakses tanggal 31 Mei 2012.
John Hunter and the Tomb of the Scarab Queen - Casinoland.jp
BalasHapusWe are very pleased william hill to announce the arrival of bk8 John Hunter and the Tomb of the Scarab Queen online for both 샌즈카지노 PS4 and PS5.